Ernest Francois Eugene (E.F.E) Douwes Dekker atau yang lebih dikenal sebagai Dr. Danudirja Setiabudi adalah pejuang dan pahlawan nasional Indonesia. Ia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879 dan merupakan keturunan dari pasangan campuran Indo-Eropa (Djojohadikusumo, 1975: 19).
Ayahnya adalah seorang keturunan campuran Portugis-Perancis bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, sedangkan ibunya bernama Louisa Margaretha Neumann memiliki darah campuran Jawa-Jerman (Anshory, 2008: 71).
Ernest, nama panggilan Douwes Dekker, mengenyam pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School Batavia yang hanya menerima anak-anak Eropa dan Indo. Salah satu buku bacaan wajib di sekolah itu adalah Max Havelaar karya Multatuli. Buku itu harus dipelajari dan didiskusikan di rumah. Multatuli sendiri adalah saudara dari kakek Ernest. Saking bangganya dengan sosok Multatuli, ayah Ernest bahkan menyebar pamflet untuk membantah rumor bahwa Multatuli sakit jiwa. Karena kecerdasannya, semua orang sering membanding-bandingkan Ernest dengan Multatuli sehingga membuatnya risau. Pada tahun 1912 Ernest sempat menulis bahwa Multatuli memang hebat, tapi dalam segi idealisme Ernest mengaku lebih idealis (Tempo, 2012: 69).
Pada tahun 1892, keluarganya pindah ke Surabaya dan Ernest Douwes Dekker sempat belajar selama setahun di Hogere Burger School (HBS) namun setahun kemudian keluarganya kembali ke Batavia. Ernest pun masuk di HBS Gymnasium Koning Willem III yang terletak di kawasan Weltevreden. Di sekolah ini Ernest menunjukkan bakat menulisnya. Ia berhasil menerbitkan karya yang berjudul Gedenkboek van Lombok, yang berisi mengenai sejarah ekspedisi militer Belanda untuk memadamkan huru-hara di Lombok. Selain itu, di sekolah ini pula Ernest merasakan diskriminasi rasial dari guru dan teman-temannya karena darah campurannya, ia juga menyaksikan bagaimana sahabat pribuminya yang bernama Mas Darna Koesoema juga direndahkan. Pengalaman ini rupanya yang tertanam dalam benak Douwes Dekker muda, bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mengubah semua itu (Tempo, 2012: 70).
Peristiwa selanjutnya yang semakin membuka mata Ernest atas penderitaan kaum Pribumi adalah ketika ia lulus dan bekerja. Pada tahun 1897 Ernest lulus dari HBS dengan predikat baik namun karena kekurangan biaya ia tidak sempat melanjutkan pendidikannya ke Eropa. Karena itu, Ernest langsung bekerja sebagai Opzichter atau pengawas di Perkebunan Kopi Soember Doeren Malang. Di perkebunan ini Ernest melihat ketidakadilan yang menimpa pada buruh di sana. Para buruh harus bekerja 14 hingga 18 jam sehari dengan imbalan yang tidak layak serta mendapatkan perlakuan yang kasar, padahal luas perkebunan itu sangat besar yakni 900 hektar. Saat itu Ernest menerapkan sistem sendiri dan memperlakukan para buruh dengan baik dan pantas. Sikapnya itu kemudian ditentang oleh atasannya yang bernama R.W. Jesse yang menegurnya agar tidak terlalu lembut kepada para buruh. Teguran itu tidak pernah dihiraukan olehnya dan menimbulkan konflik panjang dengan atasannya itu hingga berakhir dengan pengunduran dirinya (Tempo, 2012: 72).
Ernest kemudian pindah kerja sebagai ahli kimia di pabrik gula Pajarakan di Probolinggo pada tahun 1898. Di tempat itu ia kembali berkonflik dengan manajemen pabrik. Pasalnya, suatu hari ia memprotes kebijakan pabrik Pajarakan yang mengalirkan air irigasi dari sawah masyarakat ke kebun tebu perusahaan, akibatnya membuat sawah dan kebun para petani menjadi kering dan rusak. Protesnya itu membuat marah J.H. Dahmen, administrator pabrik Pajarakan. Seperti biasa Ernest tetap keras kepala sehingga pada 1899, Ernest kehilangan pekerjaan untuk kedua kalinya (Tempo, 2012: 76).
Setelah menjadi pengangguran, Ernest mendengar berita tentang perjuangan para petani di Republik Transvaal, Afrika Selatan melawan pasukan Inggris. Perang tersebut dinamakan sebagai perang Boer. Tergugah dengan perjuangan para petani itu, Ernest Douwes Dekker bersama kedua saudaranya Julius dan Guido nekat mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan dalam perang Boer (Setiabudi, 1950: 40).
Mereka bertiga menumpang kapal berbendera Perancis “Caledonien” pada Februari 1900 dengan rute Singapura-Aden. Sesampainya di Bombay, India kapal yang mereka tumpangi diberhentikan karena wabah penyakit sehingga seluruh awak kapal harus di karantina, namun Ernest bersama kedua saudaranya berhasil melarikan diri dan menumpang kapal lainnya yaitu Lourenco Marques (Van der Veur, 2006: 19). Mereka kemudian berpindah lagi ke kapal Herzog dan sampai dengan selamat di Transvaal pada bulan April 1900. Sesampainya di Republik Transvaal, Ernest dan kedua saudaranya langsung bergabung menjadi tentara. Mereka bertemu langsung dengan Presiden Republik Transvaal, Paul Kruger yang memberikan mereka kewarganegaraan secara penuh (Tempo 2012: 80).
Bersama dengan pasukan Transvaal yang kebanyakan tidak memiliki pengalaman perang, Ernest justru berhasil memenangkan beberapa pertempuran khususnya pada pertempuran Silkaatsnek, dimana pasukan Transvaal berhasil mengalahkan pasukan Inggris. Karena keberaniannya ini Ernest diangkat menjadi ajudan perwira tinggi. Tidak hanya itu, Jenderal De La Rey selaku panglima perang Republik Transvaal menganugerahi Ernest Douwes Dekker dengan gelar “The Boer’s Fighting Man” dan menjulukinya sebagai “Brave Kerel” yang berarti anak pemberani (Van der Veur 2006: 22).
Pada bulan Juli 1900, dalam pertempuran Daspoort, Ernest terpisah dari pasukannya dan berhasil ditawan oleh pasukan Inggris. Ia ditempatkan di tahanan sementara di Ranee, tak jauh dari Cape Town. Tak lama kemudian ia bersama tahanan lainnya dipindahkan ke sebuah kamp interniran di Kolombo, Sri Lanka, lalu kemudian ke Diyatamala, sebuah wilayah pegunungan. Namun pada Oktober 1900, wabah tifus menyerang kamp interniran itu sehingga Inggris memindahkan para tahanan ke kamp lain di Ragama. Saat itu Ernest banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku dan menulis pengalamannya selama perang Boer dan pengasingannya di Srilanka kepada keluarganya. Ketika di penjara Ragama, Ernest menderita penyakit radang paru-paru. Ia sempat di bawa ke rumah sakit Jaffna, Sri Lanka dan kemudian berhasil sembuh. Setelah itu ia kemudian dipulangkan kembali ke Hindia Belanda sekitar tahun 1903 (Tempo 2012: 83).
Sesampainya di Hindia Belanda, Ernest menikah dengan Clara Charlotte Deije tahun 1904. Pasangan ini dikaruniai lima anak, sayangnya mereka bercerai pada 1919. Pada tahun 1905, ia ditawari pekerjaan sebagai koresponden surat kabar De Locomotief. Menulis tentang pengalamannya di perang Boer dan mulai aktif mengkritik politik etis yang dianggapnya memecah belah antara kaum Bumiputra, Indo dan Priayi. Sebaliknya, Douwes Dekker dikecam sebagai pengkhianat dan oportunis oleh para tokoh politik Belanda (Djojohadikusumo 1975: 27).
Setelah itu, di tahun 1907 Ernest kemudian pindah ke surat kabar Soerabaiasch Handelsblad. Pada tahun yang sama ia juga aktif di dalam organisasi insulinde. Ketika Boedi Oetomo berdiri pada tahun 1908, rumah Ernest di Kramat kerap jadi tempat pertemuan para pelajar STOVIA. Ia juga hadir dalam kongres pertama Boedi Oetomo (Tempo, 2012: 38).
Karena tidak sepaham dengan atasannya di Soerabaiasch Handelsblad, Douwes Dekker kemudian bergabung di Bataviaasch Nieuwsblad pada 1909 sebagai pimpinan redaksi, Di Surat kabar ini ia diberikan kebebasan dalam menerbitkan artikel-artikel kritis pada pemerintah. Akan tetapi, lambat laun sikap kritis dan keras kepalanya ini membuat hubungannya dengan atasannya menjadi retak, ia pun memilih keluar (Muljana 2008: 84).
Pada awal tahun 1910, Ernest bersama Istri dan kedua anaknya berangkat ke Eropa. Ia berkeliling Eropa hingga Afrika. Berturut-turut tempat yang ia kunjungi adalah Belanda, Belgia, Saxony, Prusia, Bavaria, Swiss, Perancis, Spanyol, Kepulauan Balearic, Aljazair dan Italia kemudian setelah itu ia kembali ke Belanda dan tak lama kemudian ia melawat ke Inggris dan Negara-negara Skandinavia. Ernest bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan revolusioner antara lain H.S Chamberlain, Dr. Shiamaji Krishnavarna, dan Dr. Mathilda Deromps (Van Dijk, 2013: 51).
Pada Juni 1911 ia kembali ke Jawa dan menetap di Bandung dan kemudian menggagas surat kabarnya sendiri. Pada bulan September ia menerbitkan majalah Het Tijdschrift yang terbit dua kali sebulan, setahun kemudian ia juga menerbitkan De Express, surat kabar yang terbit harian. Kedua surat kabar itu menjadi corong pemikirannya. Dalam Het Tijdschrift, Ernest sempat menulis rencananya untuk mendirikan sebuah partai dimana semua orang dapat bergabung baik Belanda, Pribumi maupun Indo-Eropa (Van Dijk, 2013: 51-54).
Pada tahun 1912 berdirilah Indische Partij. Partai ini didirikannya bersama dengan Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Ketiganya kemudian populer dengan sebutan Tiga Serangkai. Pada 15 September hingga 3 Oktober 1912, Ernest berkeliling ke kota-kota seperti Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan Surabaya. Ia berhasil membuka 30 cabang dengan jumlah anggota mencapai 7.300 orang. Selanjutnya pada Desember 1912, anggaran dasar Indische Partijdisahkan (Tempo, 2012: 9).
Dalam anggaran dasarnya, partai ini bertujuan untuk menggalang patriotisme di kalangan seluruh rakyat Hindia terhadap tanah air mereka, mempersatukan rakyat Hindia dalam kerja sama berdasarkan asas persamaan politik, dan untuk menciptakan kemakmuran serta menuju satu negara nasional yang merdeka (Nagazumi 1989 :150).
Pada 13 Maret 1913, Tiga Serangkai menemui Gubernur Jenderal Idenburg untuk menanyakan perihal status badan hukum Indische Partij, pasalnya mereka sudah dua kali mengajukannya dan ditolak oleh Idenburg. Pertemuan itu gagal karena Gubernur Jenderal Idenburg bersikeras melarang Indische Partijkarena salah satu tujuannya adalah kemerdekaan. Dalam kondisi itu, Indische Partij tetap menyelenggarakan kongres pertamanya di bawah naungan Insulinde di Semarang pada tanggal 21-23 Maret 1913. Kebetulan Ernest juga adalah ketua Insulinde. Meski begitu kongres pertama itu tetap meriah dan dihadiri oleh 1000 orang undangan. Sayangnya setelah kongres pertamanya itu, Indische Partij kemudian membubarkan diri pada 31 Maret 1913 dan Ernest meminta agar semua anggotanya bernaung di bawah Insulinde (Tempo 2012: 22).
Ernest kemudian diasingkan ke Eropa setelah mendukung pamflet berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Jika saja aku seorang Belanda) yang didalangi oleh kedua rekannya, R.M. Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunksumo sebagai respon atas perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis. Pamflet itu menimbulkan kehebohan di kalangan orang Belanda sehingga pemerintah bergerak cepat untuk menangkap keduanya. Ernest kemudian menulis artikel dukungan yang berjudul Onze Helden, ia kemudian juga turut ditangkap. Pada 18 Agustus 1913 mereka bertiga divonis pengasingan ke luar Jawa. Ernest ke Kupang, Suwardi ke Bangka, dan Cipto ke Banda. Namun ketiganya memohon agar dapat dipindahkan dan menetap di Eropa, permintaan itu dikabulkan. (Van Dijk, 2013: 65)
Saat di Belanda, Ernest Douwes Dekker aktif dalam Indische Vereeniging dan Partai Buruh Belanda. Di sana Douwes Dekker bertemu dengan Hatta, Sjahrir, dan Iwa Kusuma Sumantri. Pada 1914, ia berangkat ke Zurich untuk melanjutkan studi doktoralnya di bidang Ilmu Negara. Di sana Ernest bergabung dengan tokoh-tokoh gerakan Revolusioner Hindu dan saat lulus, ia diduga terlibat dalam penyelundupan senjata untuk pemberontak India dan ditangkap oleh tentara Inggris saat berada di Hong Kong. Awalnya ia dibawa ke Singapura namun kemudian berpindah-pindah penjara mulai dari Vancouver, Seattle, Portland, San Francisco, dan kembali ke Singapura. Total tiga tahun ia dipenjara hingga dibebaskan pada akhir perang dunia pertama (Setiabudi, 1950: 45).
Pada tahun 1927, ia menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel. Saat Perang Dunia II meletus, Ernest dianggap sebagai kolaborator Jepang. Semua karyanya di Ksatrian Instituut (sekolah yang didirikannya pada 1924) dibakar dan ia ditahan di penjara Ngawi pada 6 Januari 1941. Dalam penjara itu Ernest mengalami masalah penglihatan dan beberapa sumber mengatakan ia berpura-pura buta untuk menghindari penyiksaan (Tempo, 2013: 128).
Ketika Jepang mulai menginvasi Hindia Belanda, semua tahanan termasuk Ernest dipindahkan ke Suriname pada 21 Januari 1942 dengan alasan keamanan dan untuk mencegah para tahanan bergabung dengan tentara Jepang. Dalam masa pengasingan itu Ernest masih sering berkirim surat kepada Johanna dan saudaranya Guido serta menulis beberapa puisi, Pengasingan itu pula yang menyebabkan ia kembali bercerai dengan istrinya (Van der Veur, 2006: 578).
Pengasingannya di Suriname berakhir ketika Jepang kalah perang. Ernest kemudian dipindahkan ke Belanda pada 19 Juli 1946. Kementerian Seberang Lautan menolak memulangkannya ke Hindia Belanda karena ia masih dianggap sangat berbahaya. Akhirnya ia mencoba mencari cara untuk pulang sendiri. Pada 6 Desember 1946, Ernest bersama perawatnya Nelly Alberta Geertzema menumpang kapal M.S. Weltevreden dengan menyamar sebagai Joopie Rajiman. Pada 3 januari 1947 sesampainya di Priok, mereka berdua berhasil menghindari petugas berkat bantuan para pemuda dan simpatisan Republik sehingga lolos naik kereta hingga ke Yogyakarta. Kedatangan Ernest Douwes Dekker langsung disambut hangat oleh Bung Karno (Tempo, 2013: 131).
Saat di Yogyakarta, Bung Karno mengangkat Ernest Douwes Dekker sebagai penasehat pentingnya sekaligus menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir III. Bung Karno juga mengubah namanya menjadi Danudirja Setiabudi. Belakangan Ernest masuk Islam dan menikahi Nelly pada 8 Maret 1948 di Masjid Agung Yogyakarta. Nelly sendiri berganti nama menjadi Harumi Wanasita (Tempo, 2013: 85).
Selain itu, Bung Karno juga mengangkat Ernest sebagai kepala bagian Historiografi pada Bagian Dokumentasi Kementerian Penerangan. Ia tinggal di Kaliurang sebelum ditangkap saat Agresi Militer Belanda II tanggal 21 Desember 1948. Beberapa bulan kemudian, pada Juni 1949 ia dibebaskan oleh Belanda. Ernest alias Danudirja Setiabudi yang telah berusia 70 tahun dan sakit-sakitan kemudian kembali ke Bandung bersama istrinya dan tinggal di Lembang hingga wafatnya pada 28 Agustus 1950. Jenazahnya kemudian disemayamkan di Taman Makam pahlawan Cikutra (Tempo 2013: 142-157).
Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Sumber : esi.kemdikbud.go.id