Oleh : Agung Prayogi, S.T
Alumni GmnI DPC Indragiri Hilir
Pendahuluan
Istilah marhaen merupakan sebutan yang diperkenalkan oleh Bung Karno untuk pekerja yang bekerja dengan alat produksi/kerja yang disediakan sendiri, yang mana hasilnya hanya cukup untuk bertahan hidup atau subsisten serta seluruh rakyat kecil lainnya yang tertindas akibat sistem yang menghisap. Jumlah kaum marhaen pada tahun 1930an diperkirakan mencapai sekitar 95% penduduk Indonesia. Kaum marhaen terjebak dalam kemiskinan akibat kolonialisme, yang membuat penguasaan tanahnya hanya sekitar 0,5 hektar, sehingga hasilnya hanya cukup untuk menunjang kehidupan sehari-sehari.1
Pada kesempatan kali ini kita akan mengulik bagaimana nilai-nilai marhaenisme dapat dijadikan “kacamata” untuk memandang permasalahan ekonomi di era kiwari.
Kapitalisme kolonial pada awal abad 20 di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang bisa dikatakan sebagai perkembangan yang baik dan membawa keberuntungan (pen=bagi mereka). Peningkatan hasil alam memberikan keuntungan karena produksi mengalami peningkatan yang pesat yaitu dari 75 juta gulden menjadi 305 juta gulden yang didapat dari produksi emas, gula, teh, karet, tembakau, lada, beras, kapuk, dan timah.2
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat pada saat itu, banyak rakyat yang mengalami kekurangan pangan dan kerugian dalam pekerjaan. Keadaan tersebut diakibatkan karena tindakan pemerintah kolonial yang mengeksploitasi sumber daya Indonesia baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sekitar 96,7 % penduduk mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian termasuk pertanian rakyat, dalam sektor ini masyarakat bekerja sebagai buruh perusahaan perkebunan besar, kehutanan, nelayan, dan peternakan. Diperkirakan ada satu juta jiwa penduduk yang hidup sebagai buruh perusaan perkebunan di luar jawa. Diketahui bahwa masyarakat memiliki lebih dari satu sumber penghasilan untuk memenuhi kehidupannya, hal ini menunjukan bahwa pada dasarnya rata-rata penghasilan masyarakat indonesia sangat rendah.2
Kondisi-kondisi tersebut harusnya dapat kita jadikan pembanding untuk era sekarang, agar dapat menguatkan gagasan bahwa pemikiran dan nilai marhaenisme memang masih dapat kita jadikan sebagai landasan berjuang, dikarenakan banyaknya permasalahan yang identik terkhusus terkait pemerataan kesejahteraan.
Pertumbuhan atau Pemerataan
Ditinjau dari segi teori, pemikiran kapitalisme berpandangan bahwa akumulasi kapital melalui pertumbuhan ekonomi akan memberikan kesejahteraan bagi semua, diharapkan, pertumbuhan ekonomi akan “merembes” kepada kelas-kelas di bawahnya. Memang, terdapat pembagian kesejahteraan, namun jika kita ukur signifikansinya, pembagian tersebut tidaklah sebanding dengan yang didapat para pemilik kapital (modal).
Prof. Mudrajat Kuncoro (2013) yang sering kali digunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah tidak ada bukti trickle down effect yang ada hanyalah trickle up effect yang artinya benefit hanya akan “muncrat” ke atas. Pembuktian tersebut dapat dilihat dari semakin tidak meratanya proses pembagian kue-kue ekonomi di Indonesia.3
Dari hal tersebut, Pembangunan dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi memiliki paradoks jika kita tinjau efektifitasnya terhadap kesejahteraan masyarakat umum. Pertumbuhan ekonomi memang merupakan salah satu aspek penting untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Namun, Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state), pemerintah harus hadir untuk seluruh kalangan masyarakat dalam pertempuran perebutan kue-kue ekonomi. Sosio-demokrasi yang hidup di dalam tubuh pancasila menjadi dasar bahwa kesempatan diberikan seluas-luasnya untuk masyarakat.
Perekonomian Indonesia relatif stabil selama lebih dari satu dekade terakhir dengan pertumbuhan Gross domestic Product (GDP) tahunan mencapai 5,01% pada tahun 2016. Pencapaian ini juga didukung oleh tren penurunan persentase masyarakat miskin dengan indicator poverty headcount ratio at national poverty lines (% of population) pada angka 18,9% pada tahun 2000 menjadi 10,9% di penghujung tahun 2016 yang lalu.4
Tetapi jika kita tinjau manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sementara sekitar 80% penduduk, lebih dari 205 juta orang terlihat merasa masih tertinggal. Survei persepsi masyarakat pada 2014 yang dilakukan Bank Dunia menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menilai distribusi pendapatan di Indonesia “sangat tidak setara” atau “tidak setara sama sekali”.5
Selain ketidakmerataanya pembagian kue-kue ekonomi di Indonesia, hal ini juga terjadi pada hal pemerataan pembangunan antar daerah di Indonesia. Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen PDB Indonesia didominasi oleh provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia, sedangkan sisanya terdistribusi di seluruh provinsi pada Kawasan Timur Indonesia.
Kondisi di Indonesia menghadapi kesenjangan tajam antara kota dan desa, khususnya di daerah terpencil, pegunungan, dan pulau kecil. Studi menemukan bahwa di kota terdapat 8% masyarakat yang sulit mengakses layanan kesehatan dan 7% untuk pendidikan. Namun, di perdesaan angkanya meloncat ke 41% dan 40%. Sangat jomplang. Bayangkan bila kita tinggal di salah satu dari 2.519 desa terpencil yang belum tersambung listrik. Kelas di sekolah tanpa lampu dan anak kecil tidak bisa belajar di malam hari. Lantaran tanpa pompa air, banyak waktu akan dihabiskan untuk mengangkut air dari sungai terdekat yang belum tentu bersih.5
Penerapan prinsip marhaenisme dalam kebijakan publik
Hadirnya Negara seperti yang sebelumnya disinggung menjadi titik tolak untuk mengembangkan paradigma pemerataan ekonomi dan pembangunan, Pemerintah harus dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mendukung pemerataan ekonomi. Setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama dalam hal sumber daya dan layanan. Masyarakat harus terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Konsep ekonomi yang dikembangkan harus bercorak tegas karena situasi yang telah semakin liberal, ekonomi yang dikembangkan haruslah berasas pemerataan dan memiliki visi yang jauh kedepan agar tidak terbawa arus global.
Ekonom senior Sri Edi Swasono dalam Oesman dan Alfian (1991) menyatakan bahwa jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa kebijaksanaan ekonomi yang memacu pertumbuhan ekonomi jika tidak kita waspadai malahan dapat mengarahkan kepada restrukturisasi yang berlawanan arah dengan cita-cita demokrasi ekonomi (pemerataan). Ekonomi Indonesia harus menjadi ekonomi yang inklusif bagi masyarakat terutama golongan bawah.5
Konklusi
Kesenjangan ekonomi merupakan konsekuensi negatif dari pembangunan yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih strategis dan berjangka panjang.
Salah satu langkahnya adalah pengembangan program atau masterplan baru yang mendukung pola pembangunan yang lebih holistik di Indonesia. Masterplan ini seharusnya mencakup perencanaan yang matang untuk mengembangkan ekonomi inklusif, dengan tujuan utama mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Perhatian khusus harus diberikan kepada sektor ekonomi informal, yang mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia karena selama ini, sektor ini sering kali diabaikan
Selain itu, untuk memastikan keberlangsungan hidup masyarakat dengan ekonomi yang sehat dan berkualitas, penting untuk memperhatikan faktor non-ekonomi. Pelayanan publik yang berkualitas dan merata, terutama dalam pendidikan dan kesehatan, layanan publik bukan hanya sebagai sarana, tetapi sebagai instrumen untuk memberdayakan rakyat agar bisa bersaing dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Ketika individu atau daerah tidak mampu bersaing dalam pasar bebas, mereka harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah melalui instrumen pelayanan publik yang ada.
Dua rekomendasi tersebut perlu diwujudkan melalui program-program baru yang inovatif. Salah satu ide yang menarik adalah pembagian koridor ekonomi antar daerah dan peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur. Namun, penting untuk menggabungkan langkah-langkah ini dengan paradigma ekonomi yang inklusif serta pengembangan dan pemerataan pelayanan publik. Dengan pendekatan komprehensif ini, diharapkan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diminimalkan, dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Dengan demikian, kita dapat menciptakan sebuah ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada kesejahteraan semua lapisan masyarakat, seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Daftar Pustaka :
- Novianto, A., Wulansari, A. D., & Hernawan, A. (2024). Pekerja Berstatus Mitra sebagai Kaum Marhaen Abad 21: Terjerat Kemitraan Semu dan Apa yang Harus Dilakukan. South East Asia Research, 32 (3),1-19.
- Rahmawati, R. (2022). Perkembangan Kondisi Ekonomi Bangsa Indonesia Pada Masa Hindia Belanda Tahun 1900-1940. Journal of Sciences & Humanities “Estoria” Universitas Indraprasta PGRI. 2 (2), 291 – 301.
- Sugiastuti, R. H., Pratama, M. R. (2022). Dampak Buruk Pembangunan Tanpa Pemerataan: Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Indonesia. Jurnal Administrasi Bisnis. 16 (1), 79-90.
- Iskandar, A., Saragih, R. (2018). Analisis Kondisi Kesenjangan Ekonomi Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Jurnal Info Artha. 2 (1), 37 – 52.
- Ibrahim, H. R (2017). Potret Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan dan Kemiskinan di Indonesia dalam Tinjauan Ekonomi Politik Pembangunan. Jurnal Ilmu dan Budaya. 40 (55), 6305-6328.