Oleh: Agung Prayogi, ST
Beberapa waktu lalu, saya merasa tergelitik dengan sebuah informasi dari teman yang masih menempuh perkuliahan strata satu tempat saya dulu menempuh pendidikan.
Dikatakan bahwa salah satu program studi di kampus saya itu, yang lulusannya diharapkan mampu membantu mengelola sumber daya alam di daerahnya terancam ditutup karena sepi peminat. Padahal, segala upaya kampus untuk meningkatkan calon mahasiswa telah dilakukan contohnya seperti promosi dan beasiswa.
Daerah saya terkenal dengan industri perkebunan yang memiliki perusahaan skala internasional, pengekspor salah satu komoditas perkebunan ke seluruh dunia, namun, menjadi ironi dengan kenyataan bahwa kampus di mana pabrik-pabrik tersebut berdiri, menutup salah satu program studi yang terkait dengan hal industri dan perkebunan tersebut.
- Apa penyebab program studi tersebut sepi peminat ?
Beberapa hal yang saya amati adalah pertama, gagalnya kampus dalam mengakses jejaring yang tersedia di dunia luar. Perusahan – perusahaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah haruslah dapat dirangkul agar supaya lulusan-lulusan terbaik kampus tersebut dapat menempati tempat yang seharusnya. Kampus tidak boleh pasif, tidak boleh hanya menunggu, di situasi lapangan pekerjaan yang semakin sempit ini, kampus harus berperan aktif, agar masyarakat yakin dengan masuknya pemuda-pemuda masa depan di kampusnya, akan menjadi orang yang mampu mengelola sumber daya alam di daerahnya sendiri.
Hal kedua, sumber daya manusia yang keluar dari kampus tersebut kalah bersaing dengan sumber daya manusia yang berasal dari wilayah lain di seluruh Indonesia. Perusahaan skala internasional, memiliki industri komoditas perkebunan tersebesar di dunia, tentu akan mencari sumber daya manusia yang berkompeten agar mampu mengembangkan potensi di daerah tersebut.
Ditambah dengan globalisasi yang mengharuskan seluruh lulusan sarjana berkompetisi dengan talent bukan hanya di Indonesia tapi seluruh dunia, tanpa memiliki bekal saat berjuang di kampus, mencari ilmu dan meningkatkan skill yang ada, maka sama saja kita telah mempersiapkan kekalahan dalam persaingan dalam mengisi ruang-ruang yang tersedia untuk mengolah sumber daya alam di daerahnya sendiri.
- Jadi apa masalahnya?
Letupan pikiran saya pada saat itu adalah, yang sudah jelas dan strategis program studinya saja kesusahan, apa lagi yang belum jelas akan berkarya di bidang apa setelah lulus dari masa perkuliahan. Contoh saja, program studi di bidang keguruan, ekonomi, hukum, dan ilmu agama. Saya merasa mereka semua terancam akan ketidakjelasan, masa depan seperti apa yang akan mereka susun, akan menjadi ahli di bidang apa mereka kelak, kontribusi apa yang akan lulusan-lulusan ini berikan untuk membantu pembangunan di daerahnya ?
- Lalu Bagaimana?
Sebenarnya di sini yang ingin saya tekankan. Mereka yang sedang berkuliah di program studi yang ditutup tersebut tentulah risau, menjadi angkatan-angkatan terakhir tanpa adik tingkat lagi untuk dipelonco, dan ditambah kerisauan akan masa depan karena penyerapan tenaga kerja dalam keahlian tersebut sangat sedikit.
Tapi yang juga mesti merasa risau, gundah gulana, khawatir, dan galau adalah mereka yang berada di jurusan yang bisa dikatakan lebih sedikit kesempatan dalam mengaplikasikan kemampuan yang didapat saat di masa perkuliahan.
Tanpa mengurangi rasa hormat, dan tanpa membeda-bedakan “kelas” setiap program studi. Saya menjadi khawatir mereka yang mengambil program studi di bidang seperti, keguruan, hukum, ekonomi, ilmu agama, mungkin di kemudian hari akan tersingkirkan. Kita ketahui bersama di mayoritas kampus di Indonesia program studi yang saya sebutkan tadi menjadi program studi dengan mahasiswa paling banyak dibanding fakultas lain, sehingga lulusannya lebih banyak, lalu mengurangi persentase penyerapan tenaga kerja. Mengurangi kesempatan untuk terus berkembang di dunia yang sebenarnya.
Siapa yang dapat memastikan di kemudian hari program studi tersebut juga tidak akan ditutup? tidak dibutuhkan, dan dipandang sebelah mata. Semua bisa terjadi jika para mahasiswa tidak dapat mengembangkan skill-skill lain di luar apa yang mereka dapatkan di kampus. Hal-hal tersebutlah yang membuat mereka mampu keluar dari jurang ketidakjelasan saat berada di dunia yang sesungguhnya.
Kampus hanyalah sebagai tempat kita untuk dibukakan cakrawala. Persoalan apakah kita akan menemukan jati diri dan jalan hidup adalah urusan pribadi setiap orang.
Kita juga harus realistis kampus juga harus menyesuaikan program studinya dengan kebutuhan pasar, yang mana banyak peminat di program studi bidang ekonomi, hukum, bisnis. Neraca keuangan kampus haruslah sehat agar tidak melulu melakukan “subsidi silang” agar program studi sepi peminat terus dapat hidup.
Jika kekhawatiran akan terancamnya bidang program studi apapun telah kita rasakan, ada sesuatu letupan pikiran lain yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini sebagai kesimpulan dari apa yang sebenarnya saya ingin sampaikan
Dalam “homo deus” Yuval Noah Harari mengatakan pada masa depan yang mungkin tidak beberapa lama lagi, akan banyak kelas “manusia-manusia tidak berguna” (useless people), kekhawatiran ini sebenarnya telah ada sejak revolusi industri pertama terjadi. Bagaimana mesin saat itu dapat menggantikan “fisik” manusia dalam memproduksi barang-barang, namun sekarang, kita dapat melihat sendiri mesin bukan hanya dapat menggantikan manusia dalam hal fisik, tapi juga dari segi kognitif.
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelegent, dapat menggantikan “fisik” dan “kognitif” manusia inilah yang dikatakan Noah Harari akan menumbuhkan kelas baru yaitu useless people yang makin bertambah.
Lulusan -lulusan universitas yang telah terspesialisasikan keahliannya akan dengan mudah digantikan dengan kecerdasan buatan yang lebih efektif dan efisien, dapat mengabil keputusan dengan objektif, terhindar dari kolusi,korupsi, dan nepotisme, dan mampu melepaskan hal-hal di luar rasio dalam mengambil sebuah keputusan (rasa).
Jika kita satukan beberapa masalah yang telah kita bahas tadi kedalam satu wadah, tentu akan menjadi sangat pelik untuk dapat kita selesaikan, namun, mau tidak mau, siap tidak siap, hal itu akan hadir di tengah-tengah kita.
- Apa yang harus kita lakukan ?
Tanpa harus meresahkan program studi mereka terancam ditutup, atau kelak setelah lulus harus melakukan apa, yang mereka harus gali terlebih dahulu adalah diri mereka sendiri, apa yang membuat kita semangat untuk menghadapi dunia ketika bangun di pagi hari, lakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab serta mental dan hasrat yang kuat.
Pemuda, apapun keahliannya, lulusan dari program studi apapun ia, tentulah memiliki kesadaran. Kesadaran adalah satu-satunya hal yang tidak dimiliki mesin, kita harus sadar dan mengenali lingkungan sekitar dan menjadi motor penggerak dalam melakukan perubahan dalam hal pembangunan. Kita harus mampu menjadi manusia multidisipliner yang memiliki hard skill dan soft skill yang berlimpah, tidak membatasi diri hanya untuk ahli di beberapa bidang, berani mempelajari hal baru sehingga menjadi manusia yang memiliki segala perangkat dalam menghadapi dunia yang baru.
Seperti manusia zaman pra-sejarah yang harus memiliki segala kemampuan untuk bertahan hidup, ketangkasan fisik, naluri yang kuat, kemampuan bertahan hidup yang luar biasalah yang mampu untuk terus melanjutkan hidup dan menang dalam pertarungan di dunia.