Malang – Indonesia adalah Negara yang mengedepankan asas demokrasi yang dimana kepemimpinan kedaulatan tertinggi adalah rakyat. Filosofis ini dibangun guna adanya chek and balance antara kekuasaan pemeritahan dan masyarakat. Prinsip-prinsip demokrasi pun terlantar karena percecokan politik senantiasa tumbuh massif dan mengakar dalam kekuasaan sehingga cita-cita luhur demokrasi sejak masa reformasi luput dalam kangkangan kekuasaan otoriter yang brutal. Hal ini membenarkan bahwa apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi atau demokrasi dalam krisis. Demikian berdasarkan Press Release Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Malang, Komisariat Se-Universitas Kanjuruhan Malang dan Universitas Merdeka Malang, kepada FAKTAHUKUMNTT.Com, Kamis, (22/08/2024).
GMNI Menilai, Tindakan pemerintah dan DPR yang secara terang benderang memonopoli kekuasaan demi ambisi politk segelintir orang menjelang pemilihan kepala daerah serentak (Pilkada) 2024. Tindakan itu dibenarkan dengan adanya Revisi berapa ketentuan UU Pilkada oleh Baleg DPR dalam waktu yang singkat guna menganulir prinsip-prinsip konstitusional yang di terbitkan MK. Putusan mahkamah konsitusi No. 60/PUU-XXII/2024 terkait ketentuan ambang batas (Threshlod) pencalonan kepala daerah MK menafsirkan pasal 40 ayat 1 yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pimilu pada Porivinsi Kabupaten, Kota berdasarkan akumulasi jumiah pemilih dalam dattar pemilih tetap.
Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XXII/2024 secara tegas MK memaknai syarat umur calon kepala daerah dihitung sejak penetapan calon oleh KPU bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih. MK mengatakan pemaknaan demikian sudah terang benderang dan tidak perlu diberi penguatan dan tafsiran lain seiring sebagaimana adigium hukum “Interpretatio cessat in claris, Interprtatio est perversion”‘ yang artinya jika teks atau redaksi undang-undang telah jelas maka tidak di perkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap kata-kata yang jelas berarti penghancuran. Menurut GMNI Malang, Komisariat Se-Universitas Kanjuruhan Malang dan Universitas Merdeka Malang, “Pemerintah dan DPR telah mempertontonkan tindakan pembangkangan konstitsi dan kekuasaan memerintah yang otoriter liar serta mengakar pada level pemerintah daerah dengan melanggengkan otoritas legalisme untuk mengkonsolidasikan kekuatan elit polittik satu barisan, demi tercapainya kepentingan politik kekuasaan”. Upaya demikian jelas-jelas mendelegitimasi pilkada serentak 2024 dan membungkam hak-hak individu berdemokrasi, sehingga konfigurasi kekuasaan atau politik yang terjadi terhadap perkembangan karakter produk hukum di Indonesia saat ini telah mmengalamai dominasi yang sangat kental, sehingga konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat di banding energi politik atau kekukasaan. Konfigurasi politik rezim otoriter ini telah mendegradasi penegakan hukum sehingga hukum hanya di jadikan alat kekuasaan atau alat politik.
Berikut tuntutan dan kecaman GMNI Cabang Malang, Komisariat Se-Universitas Kanjuruhan Malang dan Universitas Merdeka Malang. “Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia se-Unikama dan Komisariat Unmer Malang tegas menyatakan sikap dan mengecam;
- DPR Segera menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada dan patuhi putusan Mahkamah Konsitusi No. 60PUU-XXIL/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XXII/2024
- KPU segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konsitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUUXXII/2024 .
- Boikot pilkada 2024 bila mana status a guo putusan Mahkamah Konsitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XXII/2024 tidak segera dipatuhi oleh KPU dan DPR.
- Meminta kepada seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menyikapi dan mengawal putusan MK serta membentengi demokrasi.