Jurnal Membagongkan
saya sedikit kaget setelah membaca sebuah jurnal penelitian, walau bisa dibilang terlambat karena penelitian itu dipublikasi pada Desember 2023. Penelitan itu dipublikasikan di jurnal ilmiah Selodang Mayang milik Badan Perencaanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Indragiri hilir.
Jurnal Penelitian itu berjudul Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bersumber dari Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam pada Kayu Cerucuk Bakau, yang dibuat oleh, Novriani Susanti, Ria Feberina, Rosliana, Endy Sudeska, dan Syafrizal Thaher. DS dari Universitas Islam Indragiri.
Dalam jurnal penelitian itu, peneliti mengatakan bahwa negara dalam hal ini Pemda Inhil, berhak menerima sebesar 10% per batang kayu cerucuk yang diperjualbelikan.
Banyak pertanyaan di kepala saya dari penelitian itu, saya melihat oknum di Universitas Islam Indragiri dan Pemda Inhil berniat memonetisasi kekayaan alam yang Indragiri Hilir miliki.
Masifnya pembangunan di Indragiri Hilir berakibat permintaan bakau untuk dijadikan pondasi semakin meningkat, hal ini menjadi ancaman untuk kelestarian lingkungan Indragiri Hilir. Kita sudah ketahui bersama, kita sering dilanda bencana banjir rob dan abrasi. Bukannya membuat perencanaan penanggulangan bencana untuk memperbanyak penanaman bakau dan mengawasi penggunaannya untuk mencegah bencana, Pemda Inhil dalam hal ini jurnal Selodang Mayang Bappeda malah seperti membuka peluang untuk melegalkan pembabatan bakau. Apalagi jika dijadikan dasar naskah akademik aturan daerah, kacau !
Walaupun dalam saran penelitian disebutkan bahwa dalam penerimaan PAD bersumber dari sektor kehutanan harus selaras dengan reboisasi hutan sehingga tidak merusak lingkungan, tentu kita tidak senaif itu. Jika Pemerintah sudah masuk ke suatu sektor, sangat sulit untuk membayangkan hal buruk tidak terjadi.
Indragiri Hilir merupakan daerah pesisir yang memiliki mangrove (hutan bakau) seluas 131.658 Hektar, daerah dengan hutan mangrove terluas di Provinsi Riau. Menurut saya, Pemda harus terlebih dahulu membuat peraturan untuk mengawasi penggunaan bakau sebagai bahan bangunan atau pondasi di wilayah Indragiri Hilir.
Arah Penelitian
Saya berpikir, oknum civitas akademika Universitas Islam Indragiri juga tidak luput dari keanehan. Saat dunia akademik internasional gencar-gencarnya meneliti bagaimana menyelamatkan bumi yang semakin hari semakin panas akibat efek emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Saat inovasi dan penelitian di bidang konstruksi dunia mengarah pada produksi semen yang lebih ramah lingkungan, oknum tersebut terkesan malah berlaku sebaliknya.
Saya mengerti, jika peraturan daerah dalam konteks pemanfaatan bakau ini dibuat (atau jangan-jangan sudah dibuat ?), narasi yang dibangun oleh pemda ataupun para peneliti pasti:
“ini dalam rangka mengawasi penggunaan bakau di Inhil.”
Menurut saya, bukan kesitu arah inovasi dan penelitian kita. Mencari solusi pengganti atau alternatif penggunaan bakau untuk bahan pondasi di Inhil, dan penggunaan bahan baku konstruksi ramah lingkungan adalah yang lebih utama. Atau jangan-jangan kita tidak mampu membuat penelitian ke arah sana karena miskin SDM yang berkualitas? sungguh menyedihkan.
Bagaimana tidak, menurut peneliti, semen menyebabkan lebih dari 7% dari seluruh emisi GRK antropogenik tahunan. Produksi semen meningkatkan jumlah karbon dioksida di bumi. Seharusnya ke arah sanalah penelitian dan inovasi kita arahkan, mengingat wacana internasional mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Saya juga mengerti, bahwa penelitian-penelitan “titipan” sudah menjadi hal umum di dunia akademisi. Saya tidak menuduh, ini hanya cocoklogi saya yang bodoh dan bisa jadi salah. Saya mengingatkan, jika sudah menyenggol kelestarian lingkungan, saya sarankan jangan main-main. Alam yang murka tidak dapat dibendung oleh siapapun. Ingat isu tentang adanya penelitian sawit bisa dimasukan menjadi tanaman hutan? kira-kira siapa yang untung dari penelitian itu ? mau sampai kapan kita menyakiti ibu pertiwi?
Pendapatan Asli Daerah
Solusi dari jurnal tersebut untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) juga tidak kalah aneh menurut saya, saya menantang semua yang membaca tulisan ini untuk mendatangi Bapenda (Badan Pendapatan Daerah), coba anda meminta data PAD tahun lalu ke instansi tersebut, saya prediksi anda akan pulang dengan tangan hampa. Kesulitan masyarakat untuk mengetahui PAD kita menjadi keanehan menurut saya. PAD merupakan sesuatu yang harus dibuka untuk publik dan harus mudah diakses.
Jika rupanya telah dipublikasi dan mudah diakses di luar sepengetahuan saya, nilai PAD yang didapat oleh Pemda Inhil mungkin akan mengejutkan anda. Banyak potensi PAD yang lebih masuk akal untuk dapat ditingkatkan. memaksimalkan pemasukan dari sektor perhubungan misalnya, apakah kita tahu berapa nilai yang didapat oleh Pemda Inhil dari retribusi lahan parkir dan pelabuhan ? atau bagaimana Pemda mengatur retribusi/ pungutan uang kepada masyarakat terkait sampah ? Kemana saja aliran uangnya ? saya rasa tidak semua mengetahui.
Belum lagi jika kita bisa memaksimalkan PAD di bidang hospitality, seperti industri Perhotelan dan FnB (Food and baverage). Nah, jika manajerial PAD kita masih bobrok, sangat sulit untuk membangun narasi bahwa bakau memiliki potensi menambah PAD kita, tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut hanya dimanfaatkan oleh cukong dan komprador pragmatis oportunis untuk mengambil keuntungan pribadi.
Penutup
Siapapun yang membaca tulisan ini mungkin banyak yang tidak setuju, tapi satu pesan saya, dari pada anda mendumel dan sok memiliki pandangan yang lebih baik, coba anda tuangkan kontra narasi dalam tulisan tandingan. Jika hanya berbunyi di warung kopi, kambing juga berbunyi bung! berdialektikalah dengan tulisan seperti di zaman pendahulu kita, atau buatlah karya audio visual layaknya tren di zaman sekarang.
salam akal sehat!
Oleh:
Andika pranomo
anggota GmnI Inhil