Tjipto Mangoenkoesoemo lahir pada tahun 1886 di Pecangakan dekat Ambarawa. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Melayu di Sekolah Dasar pribumi di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Rakyat Semarang, dan terakhir menjadi pembantu administrasi di Dewan Kota Ambarawa. Ayah dan kakeknya adalah orang yang taat menjalankan syariat agama Islam. Kakek Tjipto adalah putra Mangoensastro alias Pontjoroso, yaitu putra tertua seorang prajurit Pangeran Diponegoro. Ibu Tjipto adalah seorang wanita Jawa tradisional, putri pemilik tanah kaya raya dari Mayong Jepara yang dikenal sebagai keluarga Tjiptosuman. Keluarga ini banyak menyewakan lahannya kepada pabrik gula Mayong, jadi Tjipto berasal dari keluarga terkemuka di dalam masyarakat Jawa saat itu meskipun tak seorangpun kerabat dekat Tjipto masuk ke dalam golongan priyayi birokrasi (Scherer, 1985: 122-123).
Tjipto melanjutkan sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Kedokteran di Batavia. Selama menempuh pendidikan di STOVIA, ia diberi julukan oleh gurunya sebagai een begaafd leerling atau murid yang berbakat. Ia dikenal sebagai pribadi yang berpikiran tajam dan rajin. Berbeda dengan teman-temannya, Tjipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku, dan bermain catur. Tjipto juga dikenal sebagai murid yang “bandel”. Ketika peraturan sekolah mengharuskan siswa mengenakan pakaian daerahnya masing-masing, Tjipto memilih mengenakan pakaian Jawa yang biasa dipakai golongan rendah, yaitu sarong dan baju lurik yang biasa dipakai oleh kiromo (kromo). Ia juga suka merokok kawung-klobot secara menyolok, suatu kebiasaan yang sangat dihindari oleh priyayi berpendidikan barat saat itu (Scherer, 1985: 130). Kebiasaan Tjipto itu dianggap menyimpang dari arus utama masyarakat Jawa yang membedakan secara tajam antara kawula dan priyayi.
Tjipto sangat peka terhadap perbedaan-perbedaan status sosial dan kebiasaan yang dijalankan baik oleh masyarakat Jawa sendiri maupun oleh pemerintah kolonial Belanda yang cenderung tidak menghargai perasaan seseorang sebagai manusia. Kepekaan sosial Tjipto sudah tumbuh selama masa pendidikannya di STOVIA dan terlebih lagi setelah menjadi pejabat kesehatan, baik selama bertugas di daerah-daerah di luar Jawa maupun di Jawa seperti di Demak dan Surakarta. Di Surakarta, secara langsung Tjipto melihat tingkah laku priyayi Jawa yang berdarah bangsawan dan priyayi profesional terhadap para bawahannya atau bahkan kepada orang biasa. Tindakan para priyayi itu dianggap oleh Tjipto sebagai “feudal” yang berlebihan dan menghinakan (Scherer, 1985: 130).
Sebagai contoh, ketika Tjipto bertugas di Demak, ia sering berselisih dengan Bupati Hadiningrat. Tjipto secara provokatif memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap kebiasaan bupati yang sedang berkuasa itu, yang dianggap kurang menghargai bawahannya. Sebagai seorang pejabat kesehatan, status sosial Tjipto sama dengan status sosial Asisten Wedana. Namun Tjipto berani berperilaku seperti layaknya bupati. Misalnya, Hadiningrat keberatan ketika Tjipto mempunyai kereta dengan dua kuda, suatu hak yang hanya diperuntukkan bagi bupati dan keluarganya. Dengan sengaja Tjipto tiap hari mengendarai keretanya tanpa mau menepi ketika Belanda atau bupati lewat. Ketika bertugas di Surakarta, Tjipto mengganggu perasaan sunan karena dengan sengaja naik kuda memutari alun-alun, suatu hak istimewa yang hanya dimiliki Sunan dan keluarga dekatnya (Scherer, 1985: 134). Sikap Tjipto yang selalu menentang setiap kepincangan sosial dan perlakuan diskriminasi menjadikan dirinya terkenal di Jawa karena selalu berselisih dengan lingkungannya.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, Tjipto hampir terpencil dari lingkungannya. Demikian pula dalam kehidupan politiknya. Pada kongres I Budi Utomo (BU) di Yogyakarta pada Oktober 1908, bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi itu. Tjipto yang radikal itu memimpin sekelompok minoritas yang menginginkan BU menjadi organisasi politik yang berjuang mengangkat rakyat pada umumnya, bukan hanya priayi, dan kegiatannya lebih tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya Jawa dan Madura. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali (Ricklefs, 2005: 344-345).
Hasil rapat umum Budi Utomo yang pertama pada Oktober 1908 menunjukkan bahwa Tjipto harus mengambil sikap politiknya sendirian. Tjipto menentang usulan program organisasi BU, seperti misalnya perluasan pendidikan untuk kalangan priayi, mengharapkan lebih banyak bantuan pemerintah, penerbitan surat kabar, dan sebagainya. Usulan ini dianggap menyimpang dari gagasan awal BU yaitu lebih menekankan pada pembaharuan sosial melalui perluasan pendidikan untuk rakyat. Karena tidak setuju dengan pemikiran golongan tua yang konservatif, akhirnya Tjipto dan para pemuda radikal memutuskan keluar dari BU. Dapat dikatakan, tindakan-tindakan politik Tjipto bukanlah khas Jawa dan juga bukan “pembuat solidaritas” (Scherer, 1985:138).
Setelah mundur dari Budi Utomo, Tjipto membuka praktik dokter di Solo. Ia kemudian juga turut ambil peran dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911. Berkat jasanya itulah, Tjipto mendapat bintang penghargaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda yang disebut Koninklijk Militaire Willemsorde 3de klas voor moed, beleid en trouw (Bintang Tentara Kerajaan Willem Kelas Tiga untuk Keberanian, Kebijaksanaan, dan Kesetiaan). Namun bintang ini dikembalikannya (Emdeman, 1986: 22). Setelah itu Tjipto tetap beraktivitas dalam dunia politik, apalagi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka bertiga kemudian disebut sebagai Tiga Serangkai. Ketiganya kemudian mendirikan organisasi politik Indische Partij (IP) atau Partai Hindia pada 1911. Partai ini mempermaklumkan suatu nasionalisme “Hindia” dan menuntut kemerdekaan (Ricklefs, 2005: 357).
Tjipto tidak keberatan masuk Indische Partij dan bekerjasama dengan orang Indo untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Bagi Tjipto, IP merupakan organisasi yang baik untuk mewakili kepentingan semua penduduk Hindia tanpa membedakan suku, golongan, dan agama, bekerja bersama-sama untuk kesejahteraan bersama yaitu pendidikan yang merata bagi setiap orang dan hak-hak pemilikan tanah bagi semua penduduk. Tjipto mengatakan bahwa orang Jawa dan Indo harus memberi dan menerima hak-hak istimewa mereka yaitu orang Jawa memperoleh pendidikan dan orang Indo memperoleh hak atas tanah. Gagasan ini sudah tentu menabrak norma umum yang berlaku saat itu. Orang Jawa tidak punya keinginan sedikitpun memberikan hak pemilikan tanah kepada penduduk bukan pribumi, dan orang Indo juga tidak senang memberikan hak istimewa pendidikan kepada orang Jawa biasa. Pemikiran Tjipto ini sulit diterima karena keluar dari konsensus masyarakatnya (Scherer, 1985:142).
Berbeda dengan Douwes Dekker dan Soewardi yang mengambil jalur pendidikan, Tjipto Mangunkusumo tetap berjuang di jalur politik. Pada awal tahun 1918 hasil pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) diumumkan. Tjipto dari Insulinde dan Tjokroaminoto dari SI ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menjadi anggota Volksraad. Namun masuknya Tjipto di Dewan Rakyat banyak yang menentang terutama dari mereka yang kurang setuju dengan kebijakan Etis. Di Dewan Rakyat Tjipto tetap bersuara lantang, misalnya dalam menentang kebijakan Kolonial soal diskriminasi ras dan soal gaji orang-orang Eropa yang lebih tinggi dari orang pribumi meskipun jenis pekerjaan mereka sama. Tjipto Mangunkusumo juga menyampaikan keresahannya melalui tulisan di harian De Locomotief, harian kolonial yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Tulisannya itu berisikan kritikan tajam atas kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Tjipto seringkali mengkritik hubungan feodal dan kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Karena tulisannya itu, Tjipto mendapatkan teguran serta peringatan keras dari pemerintah.
Dalam perjuangannya, Tjipto mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Soewardi dan Soetomo. Mereka masing-masing mempunyai caranya sendiri dalam mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi masyarakat Jawa. Soewardi dan tokoh-tokoh moderat lain seperti Soetomo mengambil jalan akomodatif terhadap sistem sosial tradisional dan mengidealkan sistem itu tanpa mengungkapkan kelemahan-kelemahannya yang melekat padanya. Sementara itu Tjipto mengambil jalan sebaliknya. Gagasan dan konsep-konsep politiknya mengungkapkan dengan terus terang keburukan-keburukan dalam sistem Jawa tradisional itu. Dengan berani ia mengatakan bahwa keburukan-keburukan seperti itu digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk lebih jauh memenuhi kepentingan-kepentingan Belanda dan memperkuat kekuasaan Belanda atas Jawa.
Dalam konteks seperti ini, Tjipto menyerang sistem keturunan dalam mengangkat para bupati, hak-hak istimewa para penguasa, dan tuntutan kepatuhan dan kesetiaan para bawahan/kawula yang berlebihan. Tjipto menyarankan agar pendidikan barat disebarluaskan untuk semua, baik orang Eropa maupun penduduk pribumi. Demikian pula semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan tidak menjamin hak-hak dan keadilan sosial yang sama bagi semua penduduk Hindia harus diubah atau diganti. Pandangan Tjipto inilah yang justru mendapatkan banyak tantangan dari berbagai pihak (Scherer, 1985: 176).
Pemikiran dan pandangan politik Tjipto banyak diungkapkan dengan baik melalui berbagai tulisan yang dimuat di surat kabar. Sebelum dibuang ke negeri Belanda pada 1913, ia adalah wakil redaktur De Express dan De Tijdschrift, keduanya adalah organ Indische Partij. Tjipto menulis artikel yang mendukung Ki Hadjar Dewantara untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Karena tulisan itu, Tjipto dan Ki Hadjar Dewantara dipenjara pada 30 Juli 1913. Pada 18 Agustus 1913, keluar surat keputusan untuk membuang Tjipto bersama Ki Hadjar Dewantara dan Douwes Dekker ke negeri Belanda. Mereka dibuang karena melakukan kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama masa pembuangan, ketiga tokoh ini tetap melancarkan aksi politiknya. Mereka menerbitkan majalah De Indier guna menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda mengenai situasi tanah jajahan. Mereka juga menerbitkan jurnal Indische Vereeniging (perkumpulan mahasiswa Indonesia), yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Selama masa pembuangannya di Negeri Belanda, Tjipto memimpin surat kabar De Indier dan setelah kembali ke Indonesia pada 1914, ia menerbitkan surat kabar radikal dalam Bahasa Jawa, Panggugah. Tulisan Tjipto di Panggugah tidak menguntungkan karir politiknya. Kritik Tjipto kepada sistem kerajaan justru ditanggapi oleh masyarakat Kasunanan dengan membentuk sebuah panitia “Komite Rakyat Kasunanan” yang dipimpin oleh Haji Samanhoedi (pedagang batik dan tokoh SDI) dan wartawan M. Prawirosoemardjo sebagai sekretaris. Tugas Komite antara lain menolak gagasan dan usulan Tjipto. Usulan Tjipto kepada pemerintah kolonial seperti ditulis dalam Panggugah tahun 1919, misalnya, agar sunan diberi uang pensiun dua ribu gulden per bulan supaya sunan tidak membebani lagi rakyatnya dengan pajak atau alternatif lain yaitu mengembalikan wilayah Madiun kepada Kasunanan, mendapatkan tantangan dari anggota Komite. Pemikiran Tjipto dianggap “nyeleneh” dan membahayakan kelompok yang mapan. Belanda memanfaatkan situasi ini untuk mengutuk Tjipto dengan cara mengaitkan dia dengan berbagai pemberontakan petani di pedesaan Surakarta, meskipun daerah ini berada di luar daerah hukum pemerintah kolonial. Setelah dituduh terlibat dalam berbagai pemberontakan petani di Surakarta, Belanda punya cukup alasan untuk mengekang popularitas Tjipto dan digunakan sebagai dalih untuk menyingkirkannya. Akhirnya Tjipto dijauhkan dari kehidupan daerah-daerah yang berbahasa Jawa dan pindah ke Bandung pada 1920 (Scherer, 1985: 181).
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Prancis. Peringatan tersebut diadakan secara besar-besaran di Hindia Belanda. Bagi Tjipto, perayaan tersebut menjadi sebuah penghinaan terhadap rakyat bumiputra yang sedang dijajah. Tjipto bersama Suwardi kemudian mendirikan komite perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putera. Komite ini merencanakan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda. Isi telegram tersebut adalah agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut.
Pada 1914, Tjipto bergabung dengan Insulinde, perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Di sana ia melancarkan aksi propaganda untuk Insulinde. Akibat propaganda tersebut, jumlah anggota Insulinde meningkat tajam. Kemudian pada 18 Mei 1918, pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Tjipto diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat. Pembentukan Volksraad menjadi tempat bagi Tjipto untuk menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggap sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah. Pada 25 November 1919, Tjipto berpidato di Volksraad yang mengkritik keras para pejabat yang menipu rakyat. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda menganggap Tjipto sebagai orang yang berbahaya sehingga Dewan Hindia mengusulkan untuk mengusir Tjipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akhirnya Tjipto dibuang dari daerah yang bukan berbahasa Jawa yaitu Bandung. Di sana ia kembali membuka praktik dokter selama tiga tahun. Ia juga bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda yaitu Sukarno. Pada tahun 1923, mereka membentuk Algemeene Studieclub atau klub kuliah umum. Pada tahun 1927, Algemeene Studieclub berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pertemuan Sukarno dengan Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto di Bandung mempengaruhi karir Sukarno di kemudian hari. Pemikiran politik Tiga Serangkai itu sebelum diasingkan pada tahun 1913, terutama ketika memimpin IP yang radikal, yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Indo-Eropa, sangat berpengaruh pada Sukarno. IP merupakan satu-satunya partai politik yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme Indonesia daripada dalam kerangka Islam, Marxisme, atau ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit. Di dalam ide-ide para tokoh IP, Sukarno menemukan alasan bagi suatu bentuk nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu terhadap Islam, teori perjuangan kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu (Ricklefs, 2005: 376 – 77).
Selama tahun dua puluhan, setelah keluar dari Dewan Rakyat dan Ketika pemerintah menolak memberikan kepada hak-hak politik Insulinde (Partai Nasional Indonesia) sebagai perubahan dari Indische Partij, Tjipto mulai mengundurkan diri dari kegiatan politik. Pemikiran Tjipto yang nampak radikal di tahun-tahun sebelumnya menjadi terlalu moderat di hadapan pemimpin-pemimpin muda yang radikal dan revolusioner selama tahun 20-an, seperti Sukarno, Sjahrir, dan Hatta. Meski demikian, Tjipto tetap dianggap pemimpin yang berbahaya oleh Belanda dan dicurigai ikut terlibat dalam pemberontakan komunis tahun 1926-1927. Pada akhir tahun 1926 dan 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan komunis. Namun tidak lama kemudian pemberontakan itu mengalami kegagalan karena segera ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda. Ribuan orang ditangkap dan sebagian dibuang karena terlibat di dalam peristiwa itu. Dalam peristiwa ini Tjipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Kecurigaan pemerintah kolonial diawali dari suatu peristiwa ketika pada bulan Juli 1927 Tjipto kedatangan tamu seorang militer pribumi berpangkat kopral dan seorang kawannya. Tamu tersebut mengatakan kepada Tjipto mengenai rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan gudang-gudang mesiu, tetapi dia ingin mengunjungi keluarganya terlebih dahulu di Jatinegara, Jakarta. Dia mendatangi Tjipto karena memerlukan uang untuk biaya perjalanan ke Jakarta. Saat itu Tjipto menasihati agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase karena akan membahayakan dirinya. Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Tjipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan ditemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Tjipto. Sebagai hukuman, pemerintah Kolonial akhirnya memutuskan untuk membuang Tjipto ke Banda pada 16 Desember 1927 setelah dituduh terlibat dalam pemberontakan komunisme dan dituduh menghasut pemberontakan di asrama-asrama tentara di Batavia (Scherer, 1985: 182).
Setelah tamat STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), Tjipto bekerja sebagai dokter pemerintah. Setahun kemudian ia dipindahkan ke Demak. Pada tahun 1912 Tjipto menerima bintang Orde van Oranje-Nassau (kepahlawanan Belanda) atas jasa-jasanya memberantas wabah pes di Kepanjen Malang. Namun karena ia giat berjuang dan melawan Belanda akhirnya ia dibuang ke negeri Belanda, ke Banda Neira selama 13 tahun, kemudian dipindahkan ke Makassar, lalu pindah ke Sukabumi, dan terakhir ke Jakarta. Dr. Tjipto Mangunkusumo meninggal dunia di Jakarta pada 6 Maret 1943 dan dimakamkan di Batu Ceper, Ambarawa. Pada 19 Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, Rp 200. Pada tanggal 17 Agustus 1964, namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Tjipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat. RSCM dulunya adalah Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ), rumah sakit yang menjadi satu dengan STOVIA. Dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 109 tanggal 2 Mei 1964 Tjipto diangkat menjadi Pahlawan Pergerakan Nasional.
Penulis: Warto
Instansi: FIB UNS
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Emdeman, 1986. Dr. Tjipto Mangunkusumo, Pahlawan Pergerakan Nasional. Jakarta: Sinar Harapan.
Ricklefs, M.C., 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Scherer, Scherer Prastiti, 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.