Timor Tengah Utara – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Cabang Timor Tengah Utara menolak peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional Mutis. Pasalnya, dampak negatif dari peralihan status Cagar Alam Muntis menjadi Taman Nasional bisa terjadi. Demikian disampaikan Ketua GmnI Cabang Timor Tengah Utara, Yakobus A. Amfotis kepada media, Selasa, 22 Oktober 2024.
Secara kelembagaan GmnI Cabang Timor Tengah Utara mengaku sangat kecewa terhadap peralihan status tersebut. Pemerintah daerah semestinya lebih memahami persoalan dan dampak yang akan terjadi jika Cagar Alam Mutis diubah statusnya menjadi Taman Nasional sebagaimana yang telah diputuskan oleh Kementerian.
“Kita juga mendukung penuh upaya penolakan yang telah dilakukan oleh masyarakat di sekitar Gunung Mutis dan kita akan segera memilih parlemen jalanan untuk menyampaikan kepada pemerintah bahwa kita menolak perubahan Status Cagar Alam Mutis ke Taman Nasional,” ujarnya.
Menurut pria yang akrab disapa Apri ini bahwa, kekhawatiran masyarakat tentang potensi kerusakan tidak bisa diabaikan begitu saja. Meskipun BKSDA dan pemerintah daerah meyakini bahwa perubahan status ini tidak akan merusak lingkungan atau situs budaya di sekitar Gunung Mutis.
Dikatakan Apri, pengelolaan yang buruk di kawasan Taman Nasional dapat menyebabkan dampak negatif, seperti komersialisasi berlebihan atau pembangunan yang merusak keanekaragaman hayati dan situs budaya.
Pemerintah harus menjamin adanya studi lingkungan yang mendalam dan melibatkan ahli atau akademisi lokal untuk memastikan dampak jangka panjang bisa diprediksi dan dihindari.
Setelah melihat berbagai penolakan yang dilakukan oleh masyarakat adat, lanjutnya, secara tersirat menunjukkan bahwa proses perubahan status Cagar Alam Mutis ke taman Nasional tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat adat di sekitar Gunung Mutis.
Semestinya, pemerintah membiarkan Cagar alam Mutis tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat. Pasalnya, dalam kawasan tersebut terdapat berbagai tempat yang selama ini telah dijadikan oleh masyarakat sekitar untuk melakukan ritual-ritual adat. Kearifan lokal ini telah dilestarikan turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Apri menilai, perubahan status ini bisa saja mengesampingkan kearifan lokal dan juga menghapus kebiasaan masyarakat menggelar upacara adat di sekitar Kawasan Gunung Mutis.
Di sisi lain, perubahan status ini terkesan tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat adat di sekitar Kawasan Mutis. Oleh karena itu, keputusan peralihan status ini dipastikan telah melanggar hak-hak adat masyarakat setempat.
Ia meminta pemerintah untuk tidak boleh membangun narasi bahwa peralihan status Cagar Alam Mutis ini dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Pasalnya, peralihan status ini berpotensi untuk mengamankan kepentingan ekonomi besar yang dikuasai oleh pihak ketiga (investor).
Hal ini bisa saja mengorbankan masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kawasan tersebut, seperti pemanfaatan lahan perkebunan dan lain-lain
Sumber: kupang.tribunnews.com
Penulis: Dionisius Rebon | Editor: Rosalina Woso