Era baru kepemimpinan Inhil akan tiba. Tidak lama lagi, Bupati dan Wakil Bupati terpilih akan dilantik (6 Februari 2025). Gegap gempita, eforia para pendukung, serta ucapan selamat akan memenuhi lini masa media sosial kita.
Sebelum detik-detik eforia itu tiba, bolehkah saya menitipkan sebuah pertanyaan, yang mungkin bagi banyak orang sulit dilakukan. Apa itu?.
Mampukah Saudara Bupati menyetop budaya fee proyek?.
Kita sama-sama tau, fee dalam dunia proyek itu nyata dan luar biasa. Keberadaannya bisa dikatakan sudah kronis, ia tumbuh pada semua lini, dari atas sampai bawah.
Saat musim tender tiba, semua pihak yang terlibat mulai berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek. Mulai dengan urusan sertifikasi di asosiasi, memantau LPSE, ngopi dengan pejabat terkait, tekan sana sini, sampai akhirnya berakhir dengan lobi-lobi.
Dalam suasana yang penuh tanda tanya ini, persaingan untuk merebut paket proyek semakin sengit. Mulai dari para pemain jumbo, pemain kecil yang sekedar berharap proyek – Penunjukan Langsung / PL (dibawah 200 juta), bahkan yang hanya sekedar ingin menjadi calo-pun ikut dalam persaingat ketat ini.
Dalam proses inilah titik temu antara penawaran dan permintaan terjadi. Para kontraktor berharap mendapatkan pekerjaan, para pejabat berharap dapat imbalan berupa fee.
Jujur saja, kita mengetahui bersama, di semua instansi, pemain fee ini kokoh dan punya posisi , mulai dari yang serius mencari untung, sampai yang terpaksa karena perintah atasan.
Pada level legislator, mereka punya istilah dana aspirasi, atau dalam bahasa aturan, pokok pokok pikiran dewan (pokir). Para Anggota Dewan beralasan meminta fee proyek untuk mengembalikan modal tempur, membiayai kebutuhan basis dan bahkan dengan alasan yang lebih mulia seperti membantu masyarakat. Tapi apapun alasannya, mereka tidak bisa membantah bahwa : Fee Proyek adalah Korupsi.
Budaya Fee Proyek = Korupsi
Praktik fee proyek ini sudah menjadi budaya. Cara mereka meminta fee ini beragam, mulai dengan cara halus, setengah memaksa, bahkan terang-terangan. Untuk beberapa kasus, bahkan penentuan siapa yang mendapatkan proyek dan jumlah fee yang diberikan sudah ditentukan saat perencanaan.
Ini semacam lingkaran setan yang saling menguntungkan semua pihak yang terlibat, sehingga sangat sulit diputus.
Kontraktor akan beralasan untuk mencari pembenaran dengan istilah uang terima kasih hingga uang kopi. Ada juga yang awalnya menolak, tapi akhirnya menyerah dengan alasan klasik:
“Kalau tidak kami kasih, proyek tahun depan tidak dapat.”
Bagi penguasa, praktik korupsi semacam ini sangat biasa dan pantas sebagai “imbalan” atas pemberian proyek.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa ini urusan antara pemegang wewenang dengan kontraktor saja, tidak perlu heboh. Tapi sebenarnya dampaknya jauh lebih besar dari sekadar urusan mereka berdua.
Ini merugikan Inhil dan masyarakat. Fee yang diberikan kepada penguasa, diambil dari anggaran proyek. Dengan begitu, anggaran yang tersedia untuk proyek semakin berkurang. Akibatnya, kualitas proyek menurun, infrastruktur yang dibangun cepat rusak, dan rakyatlah yang harus menanggung kerugian.
Sebagai seorang yang mengerti bagaimana politik dan pemerintahan berjalan, saya sadar betul apa resiko terburuk mengangkat tema Fee Proyek ini. Akan tetapi, saya sepakat dengan yang disampaikan oleh Soe Hok Gie
“lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan”.
Sekali lagi saya bertanya kepada Bupati terpilh, Apakah saudara Bupati mampu membongkar dan menyetop budaya “fee proyek” pembangunan di Inhil?
Penulis : Boboy S Ikhwan